Rekomendasi Segar bagi CoE UNIMAL
Sebagai kelanjutan sesi belajar bersama para pakar yang diselenggarakan dua minggu sebelumnya, kali ini UNIMAL juga mendapatkan begitu banyak informasi dan gagasan yang sangat berharga dari tiga orang pakar di sesi 6 Agustus 2020 ini. Mereka adalah Colin Rankin dari Whistler British Columbia Canada, Dr. Tatang Hernas Soerawidjaja Dosen Senior Program Studi Teknik Bioenergi dan Kemurgi di Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung, serta Fitrian Ardiansyah Executive Director IDH Sustainable Trade Initiatives.
Perluas Wawasan Melampaui Fokus Produksi
Colin Rankin menganjurkan bahwa bila UNIMAL telah menetapkan diri untuk fokus di bidang bioenergi dengan memanfaatkan hasil pertanian, maka UNIMAL perlu memperluas wawasannya tidak saja sebatas produksi biogas, bioenergi, bioethanol dan biobutanol, serta pemanfaatan alga atau mikroba lainnya. “UNIMAL dapat pula memikirkan potensi sampah atau kotoran biologi, konversi biomasa dan biokompos, atau menilik proses-proses biologi lainnya seperti fermentasi, pemisahan biologi, dan sebagainya,” ujar Colin. Ia menambahkan bahwa di negara-negara berkembang, bahan bakar yang diolah dari pupuk terbukti dapat dijual murah dan sesuai bagi rumah tangga miskin.
Pria yang juga sedang aktif terlibat dalam proyek bioenergi di Ghana ini menjelaskan rantai nilai yang perlu dipahami oleh UNIMAL. Ia merujuk pada pentingnya ketersediaan feedstock, kemampuan untuk mengonversi teknologi dan biaya, penguasaan pasar dan kebijakan, pemahaman akan kebutuhan dan selera pasar, serta kesadaran penuh akan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Colin pun mengapresiasi dan membingkai tekad UNIMAL ini sebagai bagian dari komitmen negara yang lebih besar, “Sebagai negara G-20, Indonesia saat ini menunjukkan komitmen yang lebih tinggi untuk mencegah kenaikan suhu bumi, melalui Paris Agreement. Inisiatif UNIMAL melalui CoE ini berkontribusi pada upaya pencapaian tersebut. Meski pemanfaatan energi terbarukan - apalagi bahan bakar hayati - masih merupakan bagian kecil dari upaya mitigasi perubahan iklim.”
Usulan Perubahan Nama: CoE di Bidang Bioenergi dan Kemurgi
Di paruh waktu berikutnya terdapat gagasan yang mendobrak. “Saya usul di nama CoE UNIMAL dimasukkan istilah kemurgi yaitu sebuah teknik atau proses kimia untuk mengolah sumber daya nabati atau hayati untuk keperluan non-pangan. Ini tepat sekali merefleksikan kegiatan yang akan dilakukan oleh CoE tersebut,” tukas Dr. Tatang Hernas.
Ia melanjutkan, “Saya memperhatikan UNIMAL condong dalam memproduksi atau berinovasi di bidang sumber daya nabati. Ada 2 jenis bahan bakar nabati (BBN) yaitu biodiesel dan bioetanol (yang mengandung oksigen), dan biohidrokarbon.”
Indonesia kini adalah penghasil minyak lemak nabati terbesar di dunia. Pada tahun 2018, Indonesia memproduksi sekitar 43 juta ton minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan 3 juta ton minyak inti sawit mentah (crude palm kernel oil/CPKO). “Ini menjadikan Indonesia sebagai penghasil biohidrokarbon terbarukan paling besar di dunia,” Dr. Tatang menggarisbawahi.
Namun selanjutnya ia mengatakan bahwa sebaiknya Indonesia tidak hanya mengandalkan komoditi kelapa sawit. Negara tropis seperti Indonesia memiliki banyak jenis pohon besar dengan kandungan asam lemak tinggi yang berpotensi sebagai sumber bahan bakar nabati. “Pohon-pohon khas Indonesia tersebut antara lain kelapa sawit, pala, tengkawang, taban merah, rambutan, kelor, dan saga utan. UNIMAL mungkin dapat mempertimbangkan riset lanjutan akan pemanfataan pohon-pohon tersebut,” urai Dr. Tatang.
Dr. Tatang berharap Indonesia dapat segera bergerak dari ekonomi berbasis fosil menuju ekonomi berbasis nabati khususnya biohidrokarbon.
Pahami Model Bisnis Lestari Rantai Pasok Komoditas
Fitrian Ardianyah, di paruh waktu selanjutnya, membuka wawasan bahwa saat ini rantai pasok tidak lagi bersifat linear, “Nilai tidak lagi ditentukan semata-mata berdasarkan kegiatan produksi barang dan jasa, namun kini berdasarkan pertukaran pengetahuan yang kemudian mendorong produksi barang dan jasa secara proaktif.”
Oleh karenanya, kisah Fitrian, rantai pasok kini berpola jauh lebih kompleks, dinamis dan saling terhubung dalam jejaring nilai. “Kolaborasi dan kokreasi sekarang menjadi pendekatan baru, bukan lagi saling berkompetisi dengan fokus utama pada produksi barang,” jelasnya.
IDH membuka pintu bagi CoE UNIMAL untuk memahami lebih jauh bantuan atau dukungan apa saja yang dapat diberikan oleh institusi seperti IDH terhadap bahan bakar hasil dari olahan komoditi, yang akan diproduksi nanti. “Mulai dari perencanaan pertumbuhan hijau, verifikasi sumber komoditi, pelatihan serta pendampingan bagi input dan bahan tanam yang baik, pembukaan akses dan kesempatan untuk memperoleh investasi hijau, kemudian mewujudkan kesepakatan PPI (produksi, proteksi dan inklusi), mendorong komitmen para pelaku kepentingan, dan bahkan mengawal penciptaan prototipe di lapangan,” Fitrian mendeskipsikan.
Lebih jauh ia menceritakan bahwa investasi hijau dapat dilakukan dengan ragam model yang fleksibel, apakah sebagian, sepenuhnya, jangka pendek, jangka panjang dan sebagainya. Secara kritis Fitrian mengungkapkan, “Investasi hijau akan menjawab kebutuhan petani dan mengisi kekosongan akibat keraguan bank untuk meminjamkan modal kepada sektor dan kegiatan yang tidak dapat diprediksi karena berhubungan dengan alam ini.”
Investasi dapat diberikan di bagian-bagian tertentu sepanjang rantai pasok. Misalnya di Kawasan konsesi dan kawasan penyangga, investasi pada petani, investasi dengan konsesi dan petani, investasi di bentang alam, investasi di hutan desa, dan lain-lain.
IDH pun berjanji akan melibatkan UNIMAL dalam inisiatif-inisiatifnya dan membuka kesempatan dengan berbagai pihak untuk menyukseskan CoE ini.