Belajar dari ITS: Manajemen PUI yang Sukses
Proyek AKSI mendapat kehormatan dan kesempatan belajar yang sangat baik dengan bergabungnya Prof. Dr. Ketut Buda Artana, ST, MSc dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya sebagai konsultan senior dalam proyek AKSI. Nama baik dan kepakaran Prof. Ketut dalam hal pengelolaan Pusat Unggulan IPTEK (PUI) tidak diragukan lagi. Di tangannya, PUI KEKAL (Keselamatan Kapal dan Instalasi Laut) yang dikelola ITS berkembang pesat dan prestasinya sangat membanggakan. PUI KEKAL telah berhasil melahirkan sebuah solusi inovatif yaitu Automatic Identification System ITS (AIS-ITS) yang berfungsi sebagai alat keselamatan kapal dan pipa bawah laut. AIS-ITS kini telah dipakai secara luas, serta memiliki nilai komersil yang signifikan.
“Ini membuktikan bahwa institusi pendidikan tinggi dituntut, dan telah berhasil membuktikan, untuk berperan lebih luas. Kita perlu membuka wawasan dan mengambil langkah lebih jauh, tidak lagi sebatas dimensi tri darma perguruan tinggi yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat,” cetus Prof. Ketut pada sesi besama yang diselenggarakan pada tanggal 22 Juli 2020. “Universitas dan kalangan akademisi kini diharapkan dapat berperan aktif dalam menciptakan inovasi, mendorong komersialisasi atas solusi yang ditawarkan, dan akhirnya membangun budaya kewirausahaan,” imbuhnya.
Ia merujuk pada strategi pemberian dukungan dana terhadap PUI yang didirikan di berbagai universitas di seluruh Indonesia oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ini dimaksudkan sebagai stimuli bagi peningkatan keunggulan akademik, peningkatan kapasitas sumber daya manusia di lingkungan universitas, serta peningkatan kemampuan universitas dalam mengimplementasikan serta memasarkan produk, jasa atau solusi, yang lahir dari pemikiran dan kegiatan intelektual.
Pada kesempatan ini Prof. Ketut menggarisbawahi, “Perlu diketahui bahwa Kemendikbud tidak mengeluarkan surat pernyataan, sertifikat, atau apa pun yang mengesahkan CoE Anda sebagai PUI sesuai definisi Kemendikbud. Sebaliknya, Kemendikbud memberi dana stimuli sebesar Rp. 350 juta per-tahun kepada PUI yang dianggap memenuhi syarat dan berpotensi untuk berkembang lebih lanjut.”
Prof. Ketut yang sempat mengenyam pelatihan di Humber College Canada ini, menyebutkan empat (4) hal utama yang perlu diperhatikan sebelum memilih fokus dan mendirikan sebuah PUI atau Center of Excellence (CoE). “Saya meringkasnya sebagai OASE: Outccome, Accesibility, Sustainability dan Efficiency,” jelasnya.
Outcome merujuk pada apa dampak yang diharapkan dapat dihasilkan oleh PUI/CoE bagi masyarakat dan bagi kehidupan di masa depan. Accesibility merujuk pada bagaimana PUI/CoE dapat menarik pelibatan seluruh unsur, baik mahasiswa, dosen, komunitas industri, pelaku UMKM dan sebagainya, membuatnya didukung oleh para pakar dan praktisi dari berbagai bidang. Sustainability merujuk pada kesesuaiannya dengan kebutuhan masyarakat, selaras dengan kebijakan serta prioritas bangsa dan negara, cocok pula dengan budaya setempat. “Bangunlah culture, bukan hanya structure. Hanya dengan demikian, CoE Anda akan mengakar kuat dan menjadi denyut nadi kegiatan sehari-hari,” tegas Prof. Ketut. Sementara Efficiency merujuk pada kemampuan untuk bekerja sesuai dengan sumberdaya yang tersedia secara optimal. Prof. Ketut mencontohkan keberhasilan PUI ITS dalam memanfaatkan dana stimuli yang diterima dari DitJen Dikti Kemendikbud sebagai modal kerja, dan kini telah menghasilkan omzet senilai Rp. 13,2 milyar per-tahun bagi universitas melalui produk AIS-ITS.
Pria yang baru saja meletakkan jabatannya sebagai Wakil Rektor Bidang Inovasi ini menekankan pentingnya keunggulan laboratorium dan kegiatan riset sebagai fondasi bagi PUI yang sukses. Prof. Ketut mengungkapkan, “Kegiatan belajar-mengajar yang berkualitas ditandai salah satunya dengan berjalannya kegiatan laboratorium secara produktif. Universitas yang hebat juga memiliki banyak inisatif riset sehingga akhirnya dapat membentuk sebuah Pusat Studi yang berbobot.”
Ketika ditanya bagaimana cara mengaktifkan laboratorium universitas yang lesu, Prof. Ketut mengatakan, “Mulailah dari hal yang sederhana. Buatlah kegiatan-kegiatan menarik bagi mahasiswa, agar mereka berkumpul lebih sering di laboratorium, berilah kesempatan seluas-luasnya bagi mereka untuk mengembangkan gagasan dan mencoba hal-hal baru, ketahuilah apa minat dan kesukaan mereka sesuai tren yang berkembang saat ini, dan terlibatlah dalam kegiatan mereka. Bangun suasana dimana aktivitas di laboratorium menjadi hal yang ditunggu-tunggu.”
Di tingkat yang lebih tinggi, universitas mungkin melahirkan begitu banyak inovasi, dan pada akhirnya dapat menjadikan dirinya sebagai PUI. “Lebih jauh, tidak tertutup kemungkinan bahwa universitas dapat mendirikan unit bisnis sebagai inkubator bagi calon wirausahawan yang saat ini masih menuntut ilmu di UNRI.” Kegiatan-kegiatan tersebut, disebutkan oleh Prof. Ketut, sebagai journey/perjalanan yang umumnya dilalui oleh universitas pendiri PUI.
Lebih jauh dari apa yang telah disampaikan di atas, Prof. Ketut mengingatkan sejumlah tantangan yang perlu diantisipasi oleh pengelola PUI. Sedikitnya terdapat enam hal yang perlu diperjuangkan, yaitu; kecukupan jumlah dan kualitas sumber daya manusia pendukung PUI, ekosistem yang kondusif untuk membangun budaya inovasi, komitmen dari pimpinan dan manajemen universitas, kekuatan jejaring kerja untuk mengembangkan PUI ke lingkungan eksternal, kelayakan infrastruktur untuk mendukung kegiatan-kegiatan PUI dan dinamika umum yang ada di luar universitas.