UNRI Salah Satu Pelopor Tracer Study, Terus Tingkatkan Kualitasnya
UNRI merupakan salah satu dari tiga perguruan tinggi yang pertama merintis tracer study (studi pelacakan), bersama Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Brawijaya. “Saat ini, konsep dan kebijakan Kampus Merdeka mewajibkan universitas untuk melakukan tracer study. Sebelumnya tracer study hanya dilakukan di tataran fakultas dengan tujuan utama untuk meraih atau mempertahankan akreditasi,” demikian disampaikan oleh Ir. Ahmad Syafiq, Msc, PhD salah satu narasumber workshop tentang tracer study bersama UNRI pada 23 Juni 2020 lalu. Oleh karenanya, sebagai salah satu pelopor, UNRI perlu terus meningkatkan kualitas penyelenggaraannya.
Ahmad menjelaskan bahwa tracer study tidak hanya penting untuk urusan akreditasi, tetapi juga sangat diperlukan untuk merevisi kurikulum dan untuk melakukan berbagai penyesuaian dalam kegiatan belajar-mengajar, agar dapat terus menjaga relevansinya dengan kebutuhan pasar saat ini. “Oleh karena itu, tiap program studi harus bisa membuat tracer study yang spesifik dengan kebutuhannya masing-masing. Jika UNRI ingin akreditasi QS, maka UNRI harus memiliki rerata keberterimaan lulusan yang cukup tinggi di pasar kerja. Ini akan membuktikan seberapa besar diserapnya lulusan kita di dunia pekerjaan,” ujarnya. Sementara untuk memperbaiki kurikulum, Ahmad mengatakan perlu dilakukan analisis terhadap kesenjangan (gap analysis) antara apa yang diraih oleh lulusan (acquired) dengan yang dituntut oleh pasar kerja (required), yang dapat ditemukan dari kegiatan tracer study tersebut.
Hal senada juga disampaikan oleh Sutarum Wiryono, Senior Project Officer untuk Sektor Pendidikan, Asian Development Bank. “Tracer study merupakan kegiatan yang sangat penting untuk menjaring informasi dari alumni, yang tentu saja merupakan refleksi dari dunia kerja. Dan ini merupakan salah satu bentuk akuntabilitas perguruan tinggi untuk terus memberi layanan yang berkualitas, termasuk kepada pengguna dari lulusan kita,” ujarnya.
Para narasumber memahami bahwa universitas kerap digambarkan sebagai ‘pencetak pengangguran’. “Hal ini dapat dipatahkan bila kita memiliki data tracer study yang teruji. Lebih jauh, kemajuan industri 4.0 diperkirakan akan menghilangkan 21 jenis pekerjaan, tetapi di lain sisi akan membuka jenis pekerjaan dan lowongan baru. Universitas perlu mengantisipasi ini, dan harus dapat mengoptimalkan kesempatan lahirnya profesi-profesi baru tersebut,” lanjut Ahmad.
Kegiatan Tracer Study Harus Melembaga
“Idealnya, tracer study dijalankan secara rutin, berpola, menjadi bagian dari sekuen kehidupan perkuliahan hingga sesaat setelah mahasiswa lulus. Misalnya; sudah mulai dijelaskan pada saat orientasi mahasiswa baru, informasinya selalu tersedia di laman universitas, dijelaskan kembali saat upacara wisuda, dan diimplementasikan baik secara online maupun off-line tidak lebih dari 2 tahun setelah mahasiswa lulus,” Prof. Dr. drg. Sandra Fikawati, MPH, narasumber dari UI, mendeskripsikan. Prof. Sandra juga mengatakan bahwa alumni umumnya ragu akan keresmian kuesioner yang diberikan, bila interaksi dilakukan terlalu jauh dari saat mereka lulus dan tidak ada sosialisasi sebelumnya.
Lebih jauh, beliau menguraikan bahwa Response Rate (RR) dapat dihitung dari jumlah alumni yang merespon, dan dibagi dengan populasi target lulusan. “Gunakanlah populasi target lulusan yang terlacak sebagai denominator, untuk menggambarkan response rate yang lebih akurat. Tracer Study umumnya fokus pada kelompok yang homogen sebagai populasinya. Jika populasi terdiri dari banyak kohort, maka akan sulit sekali melakukan interpretasi dan dapat timbul bias,” jelasnya. Bahkan, tegasnya, tracer study idealnya dapat dilakukan 4-5 kali dengan sampel yang merata kepada seluruh alumni, agar universitas bisa mendapatkan gambaran yang lebih akurat.