Perempuan Lulusan Pendidikan Pertanian di Pasar Tenaga Kerja: Karir, Pilihan, dan Tantangan [oleh Dr. Theresa W. Devasahayam]
Indonesia telah menuai hasil positif di bidang pendidikan. Pada tahun 2019, kesetaraan gender dalam pendidikan telah tercapai di tingkat nasional. Semakin banyak kaum muda mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Di tingkat perguruan tinggi, kesenjangan gender telah berbalik karena lebih banyak perempuan (18 persen) mengenyam pendidikan tinggi dibandingkan laki-laki (14 persen).i Seperti di negara lain, pencapaian pendidikan yang lebih tinggi dikaitkan dengan kemungkinan peningkatan partisipasi angkatan kerja.
Terlepas dari tren positif ini, menurut Global Gender Gap Report tahun 2020, kesenjangan partisipasi angkatan kerja antara laki-laki dan perempuan tetap besar, dengan sejumlah sektor didominasi oleh laki-laki.ii
Untuk memahami gender dan bagaimana perannya di sektor pertanian, tiga studi terpisah dilakukan oleh Universitas Jambi (UNJA), Universitas Riau (UNRI) dan Universitas Malikussaleh (UNIMAL) di Sumatra, Indonesia pada tahun 2020. Studi-studi ini dilakukan di bawah program Advanced Knowledge and Skills for Sustainable Growth Project in Indonesia (AKSI) yang didanai oleh Asian Development Bank (ADB).
Studi-studi ini mengungkapkan bahwa; meski terjadi peningkatan partisipasi perempuan dalam program pendidikan pertanian, jumlah mereka di sektor tenaga kerja jauh lebih sedikit daripada jumlah laki-laki. Asimetri gender di sektor pertanian menandakan kurangnya upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di pasar tenaga kerja pertanian, meski terdapat faktor sosial-ekonomi dan politik yang dapat mendorong peluang lebih tinggi bagi perempuan dalam pendidikan dan pekerjaan di bidang ini.
Perempuan muda yang telah lulus tidak bertransisi dari Universitas ke tempat kerja atau tempat yang mereka anggap sebagai sumber pendapatan (seperti pertanian keluarga), sebagaimana yang dilakukan oleh alumni pria. Kalau pun perempuan memasuki sektor pertanian, mereka tidak memegang posisi manajerial atau pengambil keputusan. Ketidakcocokan keterampilan adalah fakta umum bagi perempuan, dan meski memiliki pelatihan teknis, mereka akhirnya bekerja di bagian administrasi dan keuangan, atau di laboratorium. Perempuan tidak dapat maju dalam karir mereka sejauh yang rekan-rekan pria bisa lakukan. Lulusan pria terbukti menggunakan keterampilan yang mereka peroleh dari program Universitas di dunia kerja, tidak seperti lulusan perempuan.
Meski demikian, lulusan perempuan mengakui bahwa agribisnis dan agroteknologi bermanfaat sebagai pintu pembuka bagi mereka menuju dunia pekerjaan. Tetapi saat telah lulus, alih-alih, perempuan mencari pekerjaan di bank, sektor swasta dan pegawai negeri; yang dianggap lebih bergengsi. Mereka menganggap pekerjaan di sektor pertanian ‘sulit dan kotor’ dan lebih cocok untuk laki-laki, karena melibatkan kerja fisik dan perjalanan ke daerah dengan akses jalan yang buruk. Oleh karenanya, lulusan perempuan memilih 'pekerjaan yang lebih ringan' di kantor, meskipun mereka menyadari bahwa pekerjaan ini menghasilkan gaji yang lebih rendah dan prospek karir yang terbatas. Mereka percaya bahwa untuk bekerja di sektor pertanian, seseorang harus memiliki otot yang kuat; mempunyai kualitas pekerja keras; stamina yang besar; dan ketahanan terhadap sinar matahari. Pekerjaan lapangan tidak identik dengan ciri-ciri perempuan yang ideal atau baik, seperti yang diharapkan di Indonesia, yaitu tampil elegan, cantik (memiliki kulit cerah), tidak ambisius, dan penurut.iii
Meski lulusan perempuan tidak melihat pernikahan dan komitmen keluarga sebagai penghalang karir, mereka lebih memilih pekerjaan yang tidak mengharuskan misi perjalanan ke daerah, ke perkebunan yang terpencil, atau melakukan perjalanan bisnis yang memaksa mereka untuk meninggalkan keluarga. Mereka lebih suka mendapatkan pekerjaan di kota yang memberikan fleksibilitas untuk menjaga keseimbangan antara karier dan kehidupan keluarga. Tidak seperti laki-laki, para perempuan melihat diri mereka sebagai pilar keluarga dan, pada gilirannya, melihat keluarga sebagai prioritas mereka. Mereka menyatakan kesediaan untuk bernegosiasi atau meninggalkan aspirasi karir - jika perlu - karena menganggap pernikahan, peran ibu, serta peran pengasuhan lansia sebagai prioritas yang melebihi karir. Tampaknya, peran pengasuhan perempuan serta sikap non-aktif mereka dalam mengejar pekerjaan, merupakan indikator kuat dari persepsi perempuan tentang bagaimana mereka memandang jalur kariernya sendiri, yaitu di sektor pertanian.
Stereotip gender adalah hal biasa di sektor ini. Hal ini membentuk persepsi negatif, sehingga secara umum menjauhkan perempuan dari sektor ini, kecuali dalam kasus yang jarang terjadi. Para pengusaha mengakui bahwa pekerja perempuan direkrut untuk pekerjaan kantor dan keuangan, karena mereka yakin perempuan lebih cocok untuk jenis pekerjaan yang membutuhkan perhatian terhadap detail. Mereka menyoroti bahwa perempuan adalah negosiator yang lebih baik dan dengan demikian lebih cocok untuk pekerjaan yang berkaitan dengan edukasi publik atau penjangkauan masyarakat, sebagai bagian dari tanggungjawab sosial perusahaan. Studi tersebut mengungkapkan bahwa prasangka pemberi kerja terhadap perekrutan lulusan perempuan menjadi rintangan yang signifikan bagi lulusan perempuan untuk memasuki sektor pertanian. Namun sebaliknya, perempuan tampaknya tidak menyadari hal ini sebagai masalah. Banyak perusahaan menetapkan kondisi kerja seperti ‘belum menikah’ sebagai kriteria untuk pekerjaan.
Ada persepsi umum bahwa pekerja perempuan cepat mengundurkan diri karena perkawinan atau tanggung jawab keluarga lainnya. Studi tersebut membuktikan bahwa biasanya perempuan diberi pertanyaan diskriminatif dan merendahkan selama wawancara oleh pemberi kerja. Apalagi, perusahaan memberikan tunjangan hanya kepada sang pekerja perempuan itu sendiri, tidak kepada pasangan dan anggota keluarga yang lain. Ini tidak seperti kondisi yang ditawarkan kepada karyawan laki-laki. Hal ini membuat wanita enggan bergabung dengan perusahaan, dan lebih banyak pria yang dipekerjakan.
Studi UNIMAL menemukan bahwa lulusan perempuan tampaknya belum mahir menggunakan teknologi seperti traktor, mesin babat, mesin pemotong rumput, dan penggiling kopi. Faktanya, perempuan lulusan yang menjadi petani ternyata masih menggunakan teknologi konvensional: mereka memanen kopi dengan tangan meskipun mengakui kegunaan teknologi dalam meningkatkan hasil pertanian. Selain itu, lulusan laki-laki lebih mungkin menerima subsidi pupuk dari Dinas Pertanian dan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) dibandingkan lulusan perempuan. Sedangkan, laporan ini mencatat, jumlah lulusan laki-laki yang menghadiri pertemuan dan kegiatan kerjasama dengan tujuan untuk menambah pengetahuan tidaklah proporsional. Masih di telaah yang sama, laki-laki terbukti lebih proaktif dalam menghadiri program penyuluhan pertanian untuk mengumpulkan informasi tentang peningkatan produksi tanaman dan mempelajari teknik pertanian baru.
Terdapat kebutuhan untuk memeriksa sejauh mana lulusan perempuan yang beralih dari Universitas ke tempat kerja, serta memanfaatkan keterampilan dan pengetahuan yang mereka peroleh sebagai mahasiswa. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami faktor-faktor yang mendasari rendahnya partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja pertanian, melalui pandangan yang lebih cermat dan lebih mendalam tentang interaksi norma-norma sosial-budaya yang kompleks, dan tantangan yang masih ada di pasar tenaga kerja pertanian. Tantangan ini diperkuat oleh kurangnya mekanisme dukungan yang disediakan oleh universitas, pemberi kerja, dan pemerintah, yang secara bersamaan memengaruhi pilihan karier perempuan.
CATATAN REFERENSI
i. OECD (2019) “Education at a Glance Database.” URL:<http://stats.oecd.org>
ii.World Economic Forum (2020) Global Gender Gap Report 2020. Geneva: World Economic Forum.
iii. Berry, Bonnie (2008) The Power of Looks: Social Stratification of Physical Appearance. Farnham: Ashgate Publishing; Salvá, Ana (2019) “Where Does the Asian Obsession with White Skin Come From?” The Diplomat, December 2. URL:< https://thediplomat.com/2019/12/where-does-the-asian-obsession-with-white-skin-come-from/>; Saraswati, L. Ayu (2012) “Malu”: Coloring Shame and Shaming the Color of Beauty in Transnational Indonesia.” Feminist Studies, 38(1):113-140.