CoE UPI Terima Arahan Kemdikbud dan Wawasan Berharga dari Para Pemangku Kepentingan
Di samping persiapan internal untuk membentuk CoE, UPI memahami pentingnya menjalin relasi dengan pemangku kepentingan eksternal, terutama komunitas industri dan bisnis. UPI menyadari adanya kebutuhan untuk membangun jaringan teknis dan profesional yang kuat dengan berbagai komunitas bisnis, praktisi profesional, lembaga penelitian, asosiasi industri, konsorsium, dan entitas lainnya. Selain itu, UPI juga memiliki misi untuk melibatkan para pemangku kepentingan eksternal untuk bisa menjadi narasumber, dosen atau pakar tamu di kampus mereka, untuk berbagi pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan kompetensi teknologi.
Harapan Besar dari Kemendikbud
UPI melaksanakan diskusi kelompok pada 26 Agustus 2020, dengan dua kelompok pemangku kepentingan yang berbeda. Pertemuan pertama dilaksanakan bersama para pembuat kebijakan pendidikan tinggi, melibatkan pejabat tinggi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), yaitu; Dr. Iwan Syahril, Ph.D (Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan), Dr. Ir. M. Bakrun, MM (Direktur Pendidikan Vokasi), dan Asep Suhanggan (Kepala Dinas Pendidikan dan Tenaga Kependidikan di Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat) sebagai pembicara utama. Sesi ini tidak hanya bertujuan untuk memperkenalkan CoE UPI, namun juga menjadi kesempatan bagi UPI untuk mendapatkan masukan dari pejabat pemerintah.
Dr. Iwan Syahril, Ph.D, Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan mengingatkan UPI akan arahan yang jelas dari Presiden tentang pelayanan publik. “UPI harus berpegang pada prinsip ‘menyampaikan’ pelayanan pendidikan dengan baik dan tidak hanya sekedar ‘memberikan’ mata pelajaran atau kurikulum kepada mahasiswa. Oleh karena itu mahasiswa haruslah menjadi titik sentral dalam semua kegiatan belajar mengajar untuk memenuhi agenda “Indonesia Maju” dengan sumber daya manusia Indonesia yang berdaya saing,” tegasnya.
UPI, menurut Dr. Iwan, harus hyper-focus. “Dengan sumber daya dan keahlian yang terbatas, kita harus menentukan fokus dan menjadi unik dengan keunggulan masing-masing. Disrupsi dalam bentuk apa pun kini sudah menjadi kenormalan baru, oleh karena itu pendidikan vokasi harus melakukan lompatan dan inovasi untuk beradaptasi dengan perkembangan ini, ” imbuhnya.
Secara terpisah Drs. H. Asep Suhanggan, Kepala Dinas Guru dan Tenaga Kependidikan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, menyoroti disparitas mutu pendidikan antara SMK negeri dan swasta di Jawa Barat, “Dari 2.950 SMK di Jawa Barat, hanya 16 % di antaranya yang adalah SMK negeri. Rendahnya jumlah guru SMK hingga saat ini masih menjadi masalah, yang mana saya berharap UPI dapat menawarkan solusinya.”
Ia memaparkan lima keterampilan populer yang dikuasai sebagian besar lulusan SMK se-Jawa Barat, yang bisa dioptimalkan oleh UPI. Beliau menjelaskan, "Lima keterampilan populer itu adalah teknik komputer dan perangkat lunak, teknik otomotif (mobil dan sepeda motor), akuntansi, dan keuangan." Ia menyarankan, keterampilan lulusan idealnya sesuai dengan lima sektor prioritas di Jabar, yakni maritim, teknologi dan teknik, pariwisata, seni budaya, dan ekonomi kreatif yang bertumpu pada kearifan lokal.
Pandangan Kritis dari Para Pelaku Industri
Sesi kedua yang diikuti 60 peserta dari berbagai latar belakang ini ditujukan untuk menghimpun pendapat dan masukan dari para pemangku kepentingan di luar pemerintah. Peserta yang berasal dari berbagai instansi, antara lain perusahaan swasta, asosiasi industri, asosiasi profesi, lembaga sertifikasi, lembaga politeknik, sekolah menengah kejuruan, dan wirausaha setempat, bersama-sama menyumbangkan wawasan berharga dan pesan konstruktif bagi keberhasilan CoE UPI.
Hendry Hilmawan Wijaya, Ketua Assesor Lembaga Sertifikasi Kompetensi memaparkan sejumlah hal penting yang bisa diambil UPI, “Salah satunya dengan konsep baru ‘Merdeka Belajar’. Hal ini sangat relevan terutama di situasi saat ini, untuk menumbuhkan kreativitas, kemampuan beradaptasi, dan fleksibilitas siswa untuk menanggapi lingkungan yang dinamis.”
LPTK UPI, tandasnya, telah memimpin dan harus melanjutkan kiprahnya dalam pengembangan kompetensi inti mahasiswa (keterampilan literasi dan numerasi) dan juga kemampuan kerja mereka. Pembekalan kemampuan kerja ini, sayangnya, sekarang cenderung dikurangi dari pendidikan vokasi pada umumnya.
Hal tersebut diperparah dengan minimnya kualitas guru yang tersedia di SMK. Hendra mengatakan, sangat mungkin para pengelola SMK belum memahami tata kelola yang baik untuk memajukan institusinya. Padahal sebenarnya ada banyak undang-undang dan peraturan yang dapat menjadi acuannya
Dr. Yadi Ruyadi, M.Si Direktur Inovasi UPI mengaku pendekatan pentahelix di bidang pendidikan Indonesia masih belum efektif. Pendekatan pentahelix dimaksudkan untuk membangun pembelajaran terintegrasi yang menghubungkan lima kelompok pemangku kepentingan, yaitu otorita publik, industri, akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat umum. “Saya sangat menyarankan kerangka kerja yang jelas dan prosedur standar untuk mengoperasikan konsep pentahelix. Harus ada imbalan dan sanksi yang tegas untuk mendorong partisipasi dan kolaborasi, karena saya lihat keterlibatan sukarela tidak akan memotivasi para pihak, ” paparnya.
Angki Apriliandi Rachmat, SST, MT dari Fakultas Teknik Mesin Politeknik Negeri Bandung menyatakan bahwa lulusan SMK tidak hanya mampu memasuki dunia kerja tetapi sudah diakui dan meraih karir yang sukses. Ia mengatakan, “Kini adalah saatnya memperluas penetrasi lulusan SMK ke pasar kerja internasional, salah satunya Jepang yang terkenal dengan tingginya permintaan tenaga kerja terampil.” Studi pelacakan menurut Rachmat, menjadi kunci penting untuk memahami jalur karir lulusan. Selain memperkuat studi pelacakan, UPI disarankan untuk menjalin kemitraan dengan perguruan tinggi lain, yaitu dengan komunitas industri, dengan dinas pendidikan setempat, dan dengan pusat uji kompetensi.
Hariyanto, Manajer Senior untuk Pelatihan dan Pengembangan di Departemen Sumber Daya Manusia PT. KMI Wire and Cable Tbk merekomendasikan, “Aspek yang perlu dibentuk UPI dari mahasiswanya adalah etos kerja yang baik, penguasaan hard skills dan soft skills, serta kepemimpinan yang baik.”
Senada dengan Hariyanto, Tri Anggraeni, Manajer Sumber Daya Manusia di DHL Supply Chain Indonesia mendorong UPI, “Hard skills yang diajarkan di sekolah itu penting, tetapi soft skills seperti kemampuan beradaptasi, berkolaborasi, dan membangun relasi, sama pentingnya.” Sebagai bagian dari pengembangan strategis SDM, DHL mengeluarkan sertifikasi internal untuk menilai kompetensi karyawannya. Tri mencontohkan adanya sertifikasi khusus untuk bidang logistik yang dikeluarkan oleh BNSP, namun sayangnya kurang dipromosikan dan pelaku industri hanya memiliki sedikit pemahaman tentang hal tersebut.
Pandangan lain terkait kualitas lulusan muda, Istiana Yulianti, Direktur PT Jelita Citra Solusindo mengungkapkan pihaknya perlu menginvestasikan banyak waktu untuk melatih fresh graduate dan membiasakan diri dengan teknologi canggih yang digunakan di industri saat ini. “Peralatan di laboratorium sekolah biasanya sudah usang dan bertentangan dengan gagasan bahwa lulusan harus mengikuti industri 4.0. UPI tidak boleh memberikan ilmu dan keterampilan dengan hanya mengandalkan materi yang dapat diakses secara gratis seperti video YouTube, dan sebaliknya harus memberikan kesempatan untuk hands-on experience,” tegasnya. Yulianti juga menyinggung masih rendahnya kemampuan berbahasa Inggris di kalangan lulusan SMK. Ia menyarankan, “UPI, dan universitas lain, perlu menambahkan mata pelajaran tentang keterampilan kewirausahaan dalam kurikulum, untuk menyeimbangkan keterampilan teknis siswa.”
Hadi S. Cokrodimejo, Wakil Ketua Kadin Jabar, menegaskan bahwa SMK dan Politeknik harus dibangun dengan ekosistem yang kokoh, namun tetap relevan dengan peta jalan yang telah digariskan Kementerian Perindustrian. Industri secara umum membutuhkan tenaga kerja yang lebih terampil dan siap kerja, dan Kadin saat ini sedang mengkaji dan memetakan kebutuhan tersebut.
Dodi Permadi dari Politeknik Pos Bandung menutup sesi dengan mengatakan perkembangan pesat industri harus direspon melalui kurikulum yang fleksibel di perguruan tinggi. “Industri mengharapkan reformasi dalam kebijakan pendidikan tinggi. Para pelaku bisnis logistik menunggu lebih banyak lulusan dari studi manajemen logistik,” ujarnya.