FGD Internal UNRI Lewat Daring yang Kaya Perspektif
Sebagai salah satu langkah persiapan pendirian CoE dengan fokus "Manajemen Ekosistem Lahan Basah dan Kebencanaan", Universitas Riau (UNRI) menyelenggarakan sesi diskusi kelompok terpumpun (focused group discussion) secara daring pada tanggal 28 Juli 2020 lalu, bersama para pemangku kepentingan internal bersama pejabat tinggi universitas, yang juga diikuti oleh sedikitnya 18 pusat studi, dan program studi, serta fakultas terkait – dengan total peserta sebanyak 66 orang.
Wakil Rektor IV Universitas Riau, Prof. Dr. Syaiful Bahri, M.Si dalam sambutannya mengatakan, “Kami berharap banyak pada CoE ini dan optimis dapat menjadi yang terdepan. Belum ada CoE serupa yang berdiri di universitas lain di kawasan Sumatera, Kalimantan maupun Sulawesi.”
Meski secara umum rencana pendirian CoE ini telah diketahui, dianggap relevan dengan kebutuhan setempat dan sesuai dengan kepakaran UNRI, juga sudah diterima dan didukung oleh keluarga besar universitas, FGD ini dimaksudkan untuk menggali lebih lanjut hal-hal spesifik yang diperlukan untuk mematangkan perencanaan, pengelolaan dan keberlangsungan CoE ini secara jangka panjang.
“Kami menyambut baik dan siap mendukung pendirian CoE ini. Seluruh pusat studi yang dikelola UNRI menyatakan sikap yang sama. Namun demikian, tetap perlu penajaman tugas pokok dan fungsi (tupoksi), agar tidak terjadi tumpang tindih peran, konsentrasi kegiatan, atau fokus pekerjaan antara calon CoE yang akan kita bentuk ini, dengan pusat-pusat studi di UNRI yang sudah ada selama ini,” tegas Kepala LPPM, Prof. Dr. Almasdi Syahza, SE., MP. Pusat studi yang memiliki fokus kuat dan perlu diatur perannya secara jelas merespon rencana pembentukan CoE ini antara lain adalah Pusat Studi Gambut dan Pusat Studi Bencana.
Terdapat banyak pendapat mengenai bagaimana calon CoE UNRI ini harus diposisikan dalam struktur organisasi UNRI. Kebanyakan partisipan mengatakan CoE ini idealnya berdiri secara independen dan bertindak sebagai lembaga koordinasi – bukan lembaga implementasi seperti pusat-pusat studi yang berada di bawah LPPM. Oleh karenanya, ia bisa saja dilembagakan di bawah salah satu Wakil Rektor. Namun sebagian berpandangan bahwa CoE ini bisa diletakkan di bawah LPPM meski harus di atas posisi pusat-pusat studi. Sebagian juga berpandangan bahwa CoE ini bisa menjadi wadah dan perpanjangan inisiatif riset yang dilakukan di pusat studi.
Prof. Dr. Ketut Buda Artana, National Technical Contributor – Project AKSI secara khusus memberikan rekomendasi, “CoE ini perlu pula memiliki struktur ke bawah, mengakar kuat, hingga dapat memperkuat laboratorium-laboratorium di bawahnya. Ini karena laboratorium sejatinya adalah pusat kegiatan dan ‘dapur’ yang melahirkan berbagai inovasi yang nantinya dikembangkan lebih lanjut melalui CoE ini.” Ia juga mengatakan bahwa CoE UNRI perlu menetapkan kegiatan-kegiatan utama yang disertai indikator keberhasilan secara jelas, misalnya untuk 5 tahun ke depan.
Pendapat tersebut disetujui oleh Penanggungjawab CoE UNRI, Dr. Monita Olivia yang mengatakan bahwa paten yang dihasilkan oleh UNRI selama ini masih terlalu sedikit, hanya sebanyak 3 buah saja. Oleh karenanya CoE ini diharapkan dapat pula menghasilkan inovasi-inovasi yang bermutu, bermanfaat dan terpatenkan.
Hampir seluruh peserta FGD mengatakan bahwa CoE ini harus mengerahkan segala daya upaya untuk menggerakkan sumber-sumber pendanaan agar keberlangsungannya terjaga. Misalnya dari DIPA, dana dari Dikti, Pemerintah Daerah, Kerjasama dengan sektor swasta dan mungkin juga dari komersialisasi produk dan solusi yang dihasilkan.
Perwakilan dari Pusat Studi Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bahkan secara unik mengusulkan, “CoE ini bisa memberi perhatian khusus terhadap mangrove, antara lain mengembangkan ekowisata mangrove, atau mengembangkan hutan sebagai obyek wisata. Ini juga akan mendatangkan pemasukan, dan ini bisa didukung dengan pengembangan kurikulum komunikasi lingkungan.”
Ketika ditanya, produk, jasa atau solusi potensial apa yang dapat dilahirkan dari kegiatan CoE UNRI ini, partisipan umumnya menyebutkan 3 hal besar: sistem peringatan bencana, produk olahan sagu, dan cukupnya ketersediaan tenaga ahli dari UNRI yang siap berkarya dan berkolaborasi dengan berbagai pihak.
Melalui semua usulan ini, UNRI melalui CoE-nya berharap dapat menyiasati persoalan khas atau yang rutin muncul di Riau yaitu kebakaran lahan gambut, banjir di daerah aliran sungai, intrusi air laut dan sedimentasi daerah aliran sungai, serta abrasi sungai dan pantai.