UNIMAL Bertukar Pikiran dengan Para Ahli Bioenergi
Universitas Malikussaleh (UNIMAL) memilih fokus CoE yang tepat, sangat penting dan semakin dibutuhkan di masa depan. Ya, tidak lain adalah pengelolaan dan pemanfaatan bahan bakar hayati sebagai sumber energi terbarukan. Ketersediaan energi fosil semakin lama semakin menurun, sedangkan kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) saat ini sebesar 1.5 juta barel per-hari, dan produksi dalam negeri hanya dapat memenuhi 800 ribu barel per-hari. Oleh karenanya impor masih menjadi solusi jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri.
UNIMAL menegaskan bahwa institusinya, didukung masyarakat Lhokseumawe, ingin menjadi pelopor dalam hal optimalisasi energi terbarukan, menjauh dari pemanfaatan energi fosil. “Saat ini, Universitas Malikussaleh menjadi satu-satunya universitas di luar Pulau Jawa yang memiliki Program Studi Energi Terbarukan,” tukas Rektor Universitas Malikussaleh, Dr. Herman Fithra. Ini merupakan kesempatan bagi UNIMAL untuk memimpin inovasi dan praktik cerdas yang bisa dibanggakan dan direplikasi oleh para pemangku kepentingan lain.
Oleh karenanya, pada 23 Juli 2020 lalu, UNIMAL menyelenggarakan diskusi dengan para pakar di bidang energi terbarukan untuk dapat memperkuat perencanaan CoE-nya, yaitu dengan melibatkan Harris M. Yahya, Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM; Paulus Tjakrawan, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI); dan Paul Butarbutar, Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI).
Harris M. Yahya menguraikan, “Saya menyambut baik inisiatif yang digagas oleh UNIMAL ini, karena selaras dengan agenda nasional kita. Pemerintah menargetkan kontribusi energi baru dan terbarukan sebesar 23% hingga tahun 2025, dari total bauran sumber energi primer yang saat ini juga terdiri dari gas, batubara dan minyak bumi. Pada tahun 2050 mendatang Indonesia bahkan menargetkan porsi 31% energi baru dan terbarukan, yang antara lain diperoleh dari sumber-sumber hayati, mendominasi sumber-sumber energi lain.”
Harris juga mengingatkan bahwa Indonesia terikat komitmen dan memiliki target untuk menekan emisi gas rumah kaca hingga 29% atas upaya mandiri secara nasional, dan hingga 41% dengan dukungan pihak internasional. Target ini harus tercapai pada tahun 2030. “Oleh karena itu peta jalan inovasi, produksi dan pemanfaatan energi baru terbarukan, menjadi perhatian besar kita semua, agar target-target di atas dapat tercapai,” lanjutnya.
Paulus Tjakrawan di lain sisi menguraikan bahwa saat ini minyak kelapa sawit masih dominan digunakan sebagai bahan baku energi terbarukan. Ia menjelaskan, “Saat ini Indonesia banyak menggunakan minyak kelapa sawit sebagai bahan bio fuel, baik dalam bentuk cair, padat, maupun gas. Pengembangan produk B30 akan segera dilanjutkan dengan pengembangan produk B40 yang saat ini sedang dalam kajian sosio-ekonomi. Oleh karenanya, pengelolaan lahan perkebunan dan pengolahan minyak kelapa sawit yang berkelanjutan sangatlah penting!”
Melalui proyek B30 pemerintah tidak hanya berupaya meningkatkan kapasitas ketersediaan biodiesel Indonesia, namun juga memajukan perusahaan-perusahaan nasional, memberdayakan tenaga kerja hulu, dan meningkatkan kesejahteraan petani, serta mengurangi emisi dari kegiatan produksi energi serta transportasi.
Meski demikian, secara menarik Paulus menambahkan bahwa UNIMAL tidak boleh serta merta hanya berfokus pada pemanfaatan minyak kelapa sawit, “Penting pula untuk mengembangkan produk-produk lokal sebagai feedstock sumber energi, termasuk misalnya micro algae. Perhatikan juga sumber-sumber bahan bakar hayati lainnya yang potensial antara lain tebu, singkong, cellulose dan aren, yang mungkin tumbuh subur di lingkungan Anda. Pemanfaatan limbah pertanian juga dapat dieksplorasi untuk menghasilkan bio gas dan energi.”
Sementara itu, Paul Butarbutar menyoroti langkah lainnya yang dapat diambil oleh UNIMAL agar CoE yang akan didirikan dapat berjalan dengan efektif dan tepat sasaran. Paul mengatakan, “Sebagai CoE, UNIMAL perlu 'rajin menjual' hasil penelitian, gagasan dan rencananya ke seluruh pemangku kepentingan. Produk yang dihasilkan UNIMAL idealnya bernilai komersial dan dapat diterima pasar.”
Lebih jauh, Paul yang juga adalah Direktur PT JJB Sustainergy Indonesia ini mengatakan, “Keberlangsungan sebuah proyek energi terbarukan hanya bisa berlangsung baik bilamana ada kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dunia usaha, pakar dan akademisi. Oleh sebab itu saya sangat menganjurkan UNIMAL untuk berkolaborasi dengan lembaga-lembaga yang kompeten, serta melibatkan mahasiswa sedini mungkin, demi memupuk semangat kewirausahaan.”
Sesi yang sangat bermanfaat dalam membuka wawasan ini merupakan satu dari dua rangkaian pertemuan yang selanjutnya akan diselenggarakan pada tanggal 6 Agustus 2020 mendatang.