Pelatihan Penyusunan Kuesioner Studi Pelacakan UPI
Peningkatan kualitas penyelenggaraan studi pelacakan (tracer study) adalah bagian dari misi Proyek AKSI. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), didukung mitra implementer Australian Council for Educational Research (ACER), pada 19 & 20 Mei 2020 lalu menggelar sebuah pelatihan penyusunan kuesioner untuk dapat dimanfaatkan dalam kegiatan studi pelacakan.
Sesi ini menargetkan dihasilkannya rancangan instrumen studi pelacakan yang tepat dalam mengakomodir kebutuhan beragam fakultas dan departemen. Sesi ini juga dijadikan kesempatan untuk membangun kesepakatan atas struktur kerja secara detil, serta pembagian tanggungjawab di antara para pimpinan universitas, terkait alokasi sumberdaya untuk kegiatan studi pelacakan.
“Penguasaan studi pelacakan yang baik, oleh universitas negeri maupun swasta, sangatlah penting,” tukas Ir. Ahmad Syafiq, M.Sc., PhD, pakar studi pelacakan dari Universitas Indonesia. “Perguruan Tinggi dituntut untuk menjalankan studi pelacakan secara berkala demi mengukur kualitas keluaran dari kegiatan belajar para lulusannya. Ini termasuk mengetahui tingkat kehandalan mereka dalam merespon dinamika perubahan situasi sosial ekonomi. Melalui studi pelacakan, juga dapat diungkap apakah universitas membekali lulusannya dengan keterampilan yang tepat sebagaimana yang dibutuhkan oleh industri dan pasar kerja. Ini akan membantu penentuan atau perpanjangan status akreditasi di tingkat universitas maupun fakultas,” Achmad menjelaskan panjang lebar.
Pakar dari Universitas Indonesia yang dilibatkan di sesi hari pertama, menekankan pentingnya kegiatan studi pelacakan dan studi penyerapan lulusan oleh pemberi kerja sebagai bahan refleksi bagi UPI. Kontributor teknis lainnya, di hari ke-2, membagikan pengetahuan tentang prosedur administrasi dan manajemen kegiatan, serta panduan bagi pengembangan instrumen studi pelacakan.
“Dalam menyiapkan adik-adik kelas dan lulusan tahun-tahun berikutnya untuk terjun ke dunia kerja di masa depan, studi pelacakan perlu mengikusertakan atribut-atribut yang ada di lingkungan kerja seperti keterampilan sosial dan pembelajaran seumur hidup,” tutur Prof. Satryo Brodjonegoro, Deputy Team Leader dan Higher Education Specialist Project AKSI. Ia melanjutkan, “Di tataran yang lebih luas, data yang terhimpun melalui studi pelacakan ini dapat dimanfaatkan untuk menyajikan bukti-bukti empirik di tingkat nasional terkait masa tunggu kerja dan masa transisi antar pekerjaan.”
Oleh karenanya penyusunan instrumen yang tepat menjadi fokus pelatihan ini, dengan mempertimbangkan data-data yang dibutuhkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kesesuaiannya dengan syarat akreditasi nasional maupun internasional, serta format idealnya agar bisa diterima dan diisi oleh responden secara nyaman.
Di akhir sesi, disepakati kesesuaian poin-poin yang harus ada di dalam sebuah instrumen studi pelacakan khas UPI; sumber pembiayaan pendidikan pribadi (apakah menerima beasiswa, dll), transisi ke dunia pekerjaan, apakah latar belakang pendidikan sesuai dengan pekerjaan yang digeluti saat ini, keterampilan yang dibutuhkan di bidang kerja saat ini, pendapatan (gaji bulanan, bonus, pendapatan tambahan dari sumber lain, bentuk-bentuk insentif lainnya), profil pemberi kerja, pendidikan lanjutan jika ada, karir kewirausahaan (jika ada) dan persepsi para lulusan tentang apa saja aspek-aspek yang penting untuk bisa mendapatkan pekerjaan. Kuesioner untuk lulusan program pasca sarjana dan program doktoral sangat dianjurkan untuk dibedakan.
Sesi ini ditutup dengan pesan penting bahwa manajemen data alumni perlu menjadi fokus serius yang ditangani secara berkesinambungan. “Data pribadi secara lengkap wajib dicatat sejak hari pertama mereka menginjakkan kaki di kampus. Selain itu, data kerabat, saudara dan keluarga yang bisa menghubungkan universitas dengan alumni juga perlu disimpan. Ini semua bisa diperbarui secara berkala, termasuk sesaat sebelum mereka wisuda,” tutup Ahmad.